Sabtu, 22 Februari 2014

Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisahnya:

share dari link fb ~Azwa AL-Hafiy

Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisahnya:

“Saya tiba di Makkah ketika manusia ditimpa kemarau dan mereka sedang melaksanakan solat istisqa’ di Al-Masjid Al-Haram.

Saya berhimpun dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di kepalanya. Dia mencari tempat yang agak tersembunyi di samping saya.

Maka saya mendengarnya berdoa:

“Ya ALLAH, dosa-dosa yang banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram, dan Engkau telah menahan hujan dari langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu wahai Yang Pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab, wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka hujan sekarang.”

Dia terus mengatakan, “Berilah mereka hujan sekarang.”

Hingga langit pun penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara saya pun tidak mampu menahan air mata.

Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui di mana tempat tinggalnya.

Lalu saya pergi menemui Fudhail bin Iyyadh. Ketika melihat saya maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat dirimu nampak sangat sedih?”

Saya jawab, “Orang lain telah mendahului kita menuju ALLAH, maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita tidak.”

Dia bertanya, “Apa maksudnya?”

Maka saya pun menceritakan kejadian yang baru saja saya saksikan. Mendengar cerita saya, Fudhail bin Iyyadh pun terjatuh kerana tidak mampu menahan rasa haru.

Lalu dia pun berkata, “Celaka engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya menemuinya!” Saya jawab, “Waktu tidak cukup lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita tentangnya.”

Maka keesokan harinya setelah solat Subuh saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya lihat kelmarin. Ternyata di depan pintu rumahnya sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah alas yang dihampar. Ketika dia melihat saya maka dia pun langsung mengenali saya dan mengatakan, “Marhaban wahai Abu Abdi Rahman, apa hajat Anda?”

Saya jawab, “Saya ingin membeli seorang budak pelayan.”

Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa budak, silalan pilih mana yang Anda inginkan dari mereka.”

Lalu dia pun berteriak memanggil budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak yang kekar. Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang bagus, saya ridha untuk Anda.” Saya jawab, “Ini bukan yang saya perlukan.”

Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu kepada saya hingga keluarlah budak yang saya lihat kemarin. Ketika saya melihatnya maka saya pun tidak kuasa menahan air mata.

Tuannya bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda inginkan?”

Saya jawab, “Ya.” Tuannya berkata lagi, “Dia tidak mungkin dijual.”

Saya tanya, “Mengapa begitu?”

Dia menjawab, “Saya mencari barakah dengan keberadaannya di rumah ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi beban bagi saya.”

Saya tanyakan, “Lalu dari mana dia makan?”

Dia menjawab, “Dia mendapatkan setengah daniq (satu daniq = seperenam dirham) atau kurang atau lebih dengan berjualan tali, itulah keperluan makan sehari-harinya. Kalau dia sedang tidak berjualan, maka pada hari itu dia gulung talinya.

Budak-budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit. Dia pun tidak suka bergaul dengan budak-budak yang lain kerana sibuk dengan dirinya. Hatiku pun telah mencintainya.”

Maka saya katakan kepada tuannya tersebut, “Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi hajat saya.”

Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda kepada saya merupakan perkara yang besar, kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!” Maka saya pun membelinya dan saya membawanya menuju ke rumah Fudhail bin Iyyadh.

Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!” Saya jawab, “Labbaik.” Dia berkata, “Jangan katakan kepada saya ‘labbaik’ kerana seorang budak yang lebih dituntut untuk mengatakan hal itu kepada tuannya.”

Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai orang yang kucintai?”

Dia menjawab, “Saya orang yang lemah, saya tidak mampu menjadi pelayan.Tuan boleh mencari budak yang lain yang boleh melayani keperluan Anda. Bukankah telah ditunjukkan budak yang lebih sasa badannya dibandingkan saya kepada Anda.”

Saya jawab, “ALLAH tidak akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan, tetapi insya ALLAH saya akan membelikan rumah dan mencarikan isteri untukmu dan justeru saya sendiri yang akan menjadi pelayan dan berkhidmat untukmu.”

Dia pun menangis hingga saya pun bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Dia menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini kecuali Anda telah melihat sebagian rahsia hubunganku dengan ALLAH Ta’ala, kalau tidak maka kenapa Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang lain?!”

Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal ini.” Dia pun berkata, “Saya meminta dengan nama ALLAH agar Anda memberitahukan kepada saya.”

Maka saya jawab, “Semua ini saya lakukan kerana engkau orang yang terkabul doanya.”

Dia berkata kepada saya, “Sesungguhnya saya menilai –insya ALLAH– Anda adalah orang yang soleh. Sesungguhnya ALLAH Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.”

Kemudian dia berkata lagi, “Bolehkah Tuan menunggu saya sebentar, kerana masih ada beberapa rakaat solat yang belum saya selesaikan malam tadi?”

Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah dekat.”

Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya sukai, lagi pula urusan ALLAH Azza wa Jalla tidak boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke masjid melalui pintu halaman depan. Dia terus mengerjakan solat hingga selesai apa yang dia inginkan.

Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya berkata, “Wahai Aba Abdi Rahman, apakah Anda memiliki keperluan?”

Saya jawab, “Kenapa engkau bertanya demikian?”

Dia menjawab, “Kerana saya ingin pergi jauh.” Saya bertanya, “Ke mana?”

Dia menjawab, “Ke akhirat.” Maka saya katakan, “Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa senang berkhidmat bersamamu!”

Dia menjawab, “Hanyalah kehidupan ini terasa indah ketika hubungan antara saya dengan ALLAH Ta’ala tidak diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah Tuan mengetahuinya, maka orang lain akan ikut mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak perlu lagi dengan semua yang Anda tawarkan tadi.” Kemudian dia tersungkur sujud seraya berdoa,

“Ya ALLAH, cabutlah nyawaku agar aku segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!” Maka saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah meninggal dunia. Maka demi ALLAH, tidaklah saya mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan yang mendalam dan dunia ini tidak ada ertinya lagi bagi saya....”

(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul Jauzy, 8/223-225)
 

blog saya satu lagi boleh dilawati : http://sharmine205omarshahab.blogspot.com/   

Tiada ulasan:

Catat Ulasan