Rabu, 6 Mei 2015

-- Adab Bermunajad Kepada Allah -- (Buya Yahya Pengasuh LPD Al-Bahjah (Cirebon) :)

Buya Yahya Pengasuh LPD Al-Bahjah (Cirebon) :

-- Adab Bermunajad Kepada Allah --

Saat kita melakukan kesalahan kepada orang tua kita, yang semestiya harus kita lakukan jika kita hendak mengajukan permintaan adalah memohon ma’af. Bisa jadi permintaan kita akan menambah amarah orang tua kita jika kita ajukan permohonan sebelum kita memohon ma’af. Itu adalah yang terjadi antara anak yang seorang hamba dan bapak yang juga seorang hamba. Bagaimana jika ternyata jalinan itu adalah antara kita dengan Allah SWT ? Pantaskah kita mengajukan permohonan kepada Allah SWT sementara dengan dosa yang kita lakukan pun kita belum memohon ampun. Kalau pun meminta ampun akan tetapi tidak dibarengi dengan keseriusan dalam memohon ampun. 

Sudahkah kita sadari nikmat yang dikaruniakan oleh Allah SWT dari mata, telinga, tangan dan jabatan dan lain-lainnya yang semestinya kita gunakan untuk mencari ridho Allah SWT namun akhirnya kita gunakan untuk melanggar-Nya? Layakkah kita saat itu untuk mengajukan permohonan lagi sementara nikmat yang ada saja kita tidak bisa mensyukurinya? Sungguh, orang yang tidak mengerti makna bersyukur ia tidaklah mengerti makna permohonan. Karena yang tidak bisa bersyukur artinya tidak kenal siapa yang memberinya nikmat. Yang tidak kenal siapa pemberi nikmat mungkinkah akan memohon secara sesungguhnya kepada-Nya? Tata krama memohon adalah jika kita memohon kepada Allah SWT dengan segala kelemahan dan kebutuhan kita kepada Allah SWT, sekaligus menyadari keagungan Allah SWT pengkabul segala permohonan.

Merenungi jati diri maknanya amat penting dalam irama memohon kepada Allah SWT. Berapa kali dalam sehari kita memohon kepada Allah SWT dan berapa banyak macam permohonan kita panjatkan kepada Allah SWT. Akan tetapi berapa banyak telah kita hadirkan kesadaran akan kelemahan kita? Atau yang terlahir justru harapan dan impian setelah pengkabulan yang kadang hanya akan membawa kesombongan diri dengan rencana-rencana pasca pengkabulan. Seorang ustadz yang begitu khusyu’ memohon agar diberi keberhasilan dalam dakwahnya. Akan tetapi terlintas di benaknya bayang-bayang kemegahan wibawa sebagai ustadz yang berhasil dalam mengajak umat dengan sejuta tamu dan pengikut. Apakah permohonan yang semacam ini adalah sebuah pengakuan kehambaan yang lemah dihadapan Allah SWT? 

Yang memohon kepada Allah dengan khusyu’nya agar diberi rizqi yang halal dan barokah untuk bekal ibadah, akan tetapi terlintas di hati kecilnya kerinduan, kemewahan dan kemegahan diantara manusia. Apakah permohonan yang semacam ini adalah permohonan yang benar yang dibarengi dengan kerendahan dan rasa tawadhu di hadapan Allah SWT? Sungguh Allah SWT akan melihat apa yang ada di hati kita. Jangan hanya memohon dengan sejuta ungkapan indah tanpa sebuah keinsyafan sebagai pemohon. Akan tetapi memohonlah kepada Allah SWT dengan segala hati yang terjaga, terbersihkan dan penuh kesadaran akan kelemahan kita dan keagungan Allah SWT. Sadarilah apa yang Anda ucap, serta camkan permohonan Anda dalam sanubari. Dahulukan memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan akhiri pula dengan permohonan ampun atas sisa kelalaian Anda disaat memohon. 

Wallahu'alam

Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa Shobihi wasalim 

blog saya satu lagi boleh dilawati : http://sharmine205omarshahab.blogspot.com/ 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan