MENGHADIRKAN TAWAKAL (Repost)
Tawakal kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala merupakan ibadah yang dituntut dari seorang mu’min. Kekuatan tawakal seseorang kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala kembali kepada pemahamannya tentang rububiyah ALLAH subhanahu wa ta’aala dan keimanannya yang mendalam terhadap tauhid rububiyah. Maka untuk menghadirkan dan memunculkan tawakal di dalam HATI kembali kepada perenungan terhadap atsar-atsar dari rububiyah ALLAH subhanahu wa ta’aala.
Semakin banyak seorang hamba merenung dan memperhatikan kekuasaan dan kerajaan ALLAH di langit dan di bumi, pengetahuannya bahwa ALLAH adalah yang memiliki kerajaan langit dan bumi, bahwasannya hanya Dia yang mengatur dan menjalankannya dan pertolongan ALLAH kepada hamba-NYA merupakan sesuatu yang mudah dibandingkan dengan pengaturan alam semesta ini, maka akan semakin besar pengagungannya kepada ALLAH, semakin kuat pula tawakalnya kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala, ia pun mengagungkan perintah-NYA (dengan melaksanakannya), dan mengagungkan larangan-NYA (dengan menjauhinya), dan ia pun meyakini tidak ada sesuatupun yang dapat melemahkan-NYA dan tidak ada yang sulit bagi-NYA.
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada ALLAH, maka ALLAH akan mencukupinya” (Ath-Tholaq : 3).
Itulah nukilan perkataan Syekh Sholih Alu Syaikh di dalam kitabnya At-Tamhid syarah kitab tauhid. walahu’alam.
Penjelasannya, apabila seorang hamba mengilmui tentang keesaan ALLAH dalam hal menolak bahaya dan mendatangkan manfaat, dalam hal memberi dan menahan, dalam hal mencipatakan dan memberi rezki, dalam hal menghidupakan dan mematikan (dan ini semua adalah rububiyah ALLAH), maka itu akan membuahkan ubudiyah tawakal kepada-NYA semata secara batin, dan konsekwensi tawakal dan buahnya secara lahiriyah.
TAWAKAL BUKAN HANYA PASRAH
Kadang seseorang salah kaprah (wajar dan lumrah) dalam memaknai tawakal, ia menganggap bahwa tawakal adalah menerima total keadaan tanpa ada upaya perubahan, namun perlu diketahui bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha atau sebab, karena melakukan atau mengambil sebab merupakan kesempurnaa tawakal. Akan tetapi tidak boleh bersandar kepada sebab tersebut. Syekhul Islam Abul Abbas rahimahullah berkata,
“Meninggalkan sebab adalah celaan terhadap syari’at dan bersandar kepada sebab adalah syirik.”
Murid beliau Syamsudin Abu Abdillah rahimahullah berkata,
“Pelanggaran terbesar terhadap syari’at adalah meninggalkan sebab karena menyangka bahwa mengambil sebab akan menafikan tawakal”
Yang lain berkata,
“Mengandalkan (bergantung) sebab adalah celaan terhadap tawakal dan tauhid, sedangkan meninggalkan sebab merupakan celaan terhadap syari’at dan hikmah ALLAH” karena ALLAH telah menjadikan segala sesuatu ada sebab dan akibatnya.
Maka kita katakan,
“Di dalam bertawakal harus terpenuhi dua syarat :
Pertama, menyerahkan seluruh perkara kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala yang di tangan-NYalah segala urusan.
Kedua, tidak boleh bersandar kepada sebab yang dilakukannya.
HATI dan batinnya bersandar total kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala, sedangkan anggota badannya menjalani sebab. Dengan itu diketahui bahwa tawakal adalah murni ibadah HATI. Barang siapa yang memalingkannya kepada selain ALLAH maka dia telah berbuat syirik, walaupun dia meyakini bahwa ALLAH subhanahu wa ta’aala satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezki.
Hadits berikut lebih memperjelas: Dari Umar bin Khotob radhiallahu’anhu, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Andaikan kalian tawakal kepada ALLAH dengan sebenarnya niscaya ALLAH akan memberi rezki kepada kalian seperti memberi rezki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (Shahih Tirmidzi)
Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makanan, maka ALLAH jamin dengan memberikan makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur saja di sarangnya sambil menunggu makanan datang, tetapi pergi jauh mencari makanan untuk dirinya dan anak-anaknya.
Ketahuilah, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling bertawakal kepada ALLAH, namun belian melakukan usaha. Ketika Perang Uhud Beliau memakai dua baju besi dan ketika hijrah ke Madinah beliau menyewa penunjuk jalan, Beliau juga berlindung dari panas dan dingin, tapi hal tersebut tidak mengurangi tawakalnya kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala.
Jadi, mengambil sebab yang disyari’atkan menunjukan kesempurnaan tawakal dan kekuatannya, dan meninggalkan sebab menunjukan kebodohannya terhadap syari’at Rabbnya. Barangsiapa yang membaca kisah-kisah para Nabi, terkhusus Nabi kita Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya akan melihat bahwasannya mereka adalah manusia yang paling bertawakal kepada ALLAH subhanahu wa ta’aala, bersamaan dengan itu mereka juga mengambil sebab dan menyakini bahwa hal tersebut merupakan kesempurnaan tawakal kepada ALLAH.
Kredit: muslim.or.id
___________
Shared By: bicara.hidayah ( .. buat diriku ..)
Bicara Hidayah - Bicara Hati ღ
☆ ⋆ ☆ ⋆ ☆ ⋆ ☆
blog saya
satu lagi boleh dilawati : http://sharmine205omarshahab.blogspot.com/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan