Untuk menjawab pertanyaan dari anggota IM mengenai dasar pemikiran kelompok tersebut, Syekh Qaradhawi menyebutkan bahwa yang dijadikan dasar pemikiran IM pada saat itu adalah tulisan Abu al-A’la al-Maududi. Ini adalah kesalahan pertama yang dilakukan Hasan al-Banna kerana menggunakan pemikiran al-Maududi untuk menjadi dasar pemikiran Ikhwanul Muslimin. Pada periode ini, para anggota IM mulai dibina berdasarkan pemikiran al-Maududi.
Siapakah Abu Al-A’la Al-Maududi?
Al-Maududi adalah pengasas sekaligus pemimpin pertama kelumpok Jama’ah Islamiyah di Pakistan. Dia membuat sebuah kitab yang berisi tentang jihad dalam Islam terutama untuk menghalau penjajah Inggris pada masa itu. Di samping itu, dia juga menulis sebuah kitab yang sangat riskan yang berjudul al-Musthalahat al-Arba’ah yang berisi tentang penjelasan arti dari kata ilah, rabb, din serta ‘ibadah dan dia mulai mengutarakan pendapatnya.
Orang pertama yang terkejut dengan hal ini adalah Mursyid Am Ikhwanul Muslimin yang kedua yaitu Hasan al-Hudhaibi kerana al-Hudhaibi mengetahui bahwa kitab tersebut mulai melahirkan pemikiran takfir (mengkafirkan orang Islam) di tubuh IM.
Abu al-A’la al-Maududi di samping rasa hormat kita pada beliau hingga umur 40 tahun tidak mampu berbicara bahasa arab. Informasi ini disampaikan kepada saya dari salah seorang guru kita di al-Azhar dan beliau mendengarnya langsung dari Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang pakar hadis. Saat al-Maududi mempelajari bahasa Arab dia mulai menulis, menganalisa sehingga menghasilkan sebuah pemikiran.
Meskipun telah belajar dan boleh berbicara bahasa Arab pada tahap selanjutnya, dia tentu tidak mampu untuk menganalisa dan meneliti ayat Alquran yang berujung kepada menghasilkan sebuah hukum (halal, haram, iman, kafir). Kita mengetahui bahawa ayat Alquran memiliki kandungan nilai sastera yang tinggi, dalam dan luas. Untuk memahami ini semua, al-Maududi tidak memiliki modal bahasa yang memadai.
Selain itu, al-Maududi juga tidak memiliki alat-alat yang cukup. Ibaratnya jikalau seorang tukang kayu ingin membuat kursi, pasti dia memerlukan palu, paku, gergaji dan alat lainnya. Namun, tatkala dia hanya memiliki palu dan paku untuk membuatnya, meskipun pada akhirnya kerusi boleh dipotong dengan palu dan menjadi sebuah kerusi, namun kursi tersebut sangat berbahaya untuk dipakai. Lebih dari itu, bahkan kerusi itu boleh mematahkan kaki kita.
Tindakan Pertama untuk Melawan Pemikiran Takfir.
Untuk melawan pemikiran takfir yang mulai merasuki tubuh IM, al-Hudhaibi menyusun sebuah kitab bernama Dau’ah La Qudhah. Melalui kitab ini, dia mulai menjelaskan bahwa jalur yang mereka (anggota IM) gunakan telah rosak. Pemikiran yang mereka gunakan telah cacat.
Dia memperingatkan anggota IM untuk jangan terjebak dalam pemikiran takfir. Tindakan yang dilakukan al-Hudhaibi ini seolah-olah dia sedang menahan pemikiran ini agar tidak berkembang.
Masalah ini semakin merosak tatkala IM mulai menjadi gerakan rahasia (at–tanzim as-sirri) dan masalah makin menjadi-jadi tatkala Hasan al-Banna berpindah ke haluan politik. Sementara itu, dasar-dasar pemikiran yang dimiliki IM tidak dikaji dengan dalam dan tidak dianalisa secara ilmiah.
Pada saat itu, pemikiran takfiri ini berhenti sementara namun pada tahap selanjutnya mulai tumbuh kembali dan dijelaskan oleh Syeikh Sayyid Qutb dalam kitab Fi Zhilal al-Quran dan kitab-kitab lainnya.
Perbandingan Proses Menghasilkan Pemikiran IM dan Hasil Pemikiran Imam Al-Qarafi.
Imam Syihabuddin al-Qarafi, seorang Imam Mujtahid yang sangat cerdas mengatakan dalam kitabnya al-Furuq, “Tatkala menemukan masalah perbedaan antara kata riwayah dan syahadah, saya teliti dan analisa selama 8 tahun.” Pada akhirnya, beliau berhasil menemukan 13 atau 14 sisi perbezaan hanya untuk dua kata yaitu riwayah dan syahadah. Lihat bagaimana matangnya pemikiran yang beliau hasilkan setelah meletakkan pembahasannya dihadapan ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh, maqashid asy-syari’ah, dan hadyu an-nubuwwah agar beliau yakin dan memiliki kepastian terhadap kebenaran dari analisa beliau.
Di manakah Al-Azhar dari semua pada masa itu?
Apakah yang dilakukan al-Azhar selama masa itu? Apakah al-Azhar hanya diam? Tidak. Ada beberapa risalah yang telah disusun dalam rangka menjelaskan hubungan al-Azhar dengan kelompok-kelompok Islam pada masa itu. Saya memiliki sebagian risalah ini yang memperlihatkan apa yang dilakukan al-Azhar selama masa Syekh al-Maraghi, Syekh Bakhit al-Muthi’i, Syekh Yusuf ad-Dejwi dan Syekh Zahid al-Kautsari.
Ada tiga point dasar untuk membentuk masyarakat yang memiliki pemikiran yang sesuai dengan Islam dan menjamin kebenarannya. Salah satunya adalah ilmu.
Ulama al-Azhar pada saat itu sangat banyak. Mereka memiliki ilmu yang sangat banyak. Kalau salah seorang dari mereka menjelaskan pemikiran al-Maududi atau Sayyid Qutb atau Hasan al-Banna, barangkali ulama tersebut akan mengajarkannya selama 6 atau 7 bulan. Sebab, beliau akan memaparkan masalah pemikiran tersebut dan menjelaskannya dengan terperinci sesuai dengan standar syariat Islam. Hal ini tidak bisa dilakukan tergesa-gesa karena dibutuhkan waktu yang cukup agar analisa ilmiah dalam masalah ini sempurna. Beginilah ‘Gedung’ ilmu yang benar.
Sementara itu, ‘Gedung’ ilmu yang mereka(IM) gunakan tidak memiliki standard dan timbangan apapun. Pada selanjutannya, kelompok ini meyakini bahwa mereka telah melakukan peranannya dan melakukan ijtihad pada kemampuan maksimal.
Hasan al-Banna menceritakan diskusi panjangnya bersama Syekh Yusuf ad-Dejwi dalam kitab Mudzakarah Da’wah wa Da’iyah. Pada awalnya syekh ad-Dejwi sangat menolak manhaj atau metode yang dipakai oleh Hasan al-Banna. Namun pada akhirnya beliau memberi kesempatan kepada al-Banna agar metode ini diuji cuba terlebih dahulu. Seolah-olah beliau mengatakan, “Okey, saya sejalan dengan apa yang kamu sampaikan dengan catatan agar kamu boleh melakukan uji cuba terhadap manhaj yang kamu pakai.”
Siapakah Syekh Yusuf Ad-Dejwi.
Syekh Yusuf ad-Dejwi adalah salah satu anggota Dewan Senior Ulama al-Azhar. Beliau adalah salah seorang ulama yang karismatik dan memiliki ilmu yang sangat luas. Beliau memiliki majlis ilmu di masjid al-Azhar dalam menjelaskan kitab Shahih Bukhari yang dihadiri oleh 500 ulama setelah solat Subuh. Tulisan beliau pernah dicetak menjadi beberapa jilid dan merupakan salah satu karya terbaik yang menjelaskan bagaimana al-Azhar membahas masalah-masalah pemikiran seperti ini.
Sayangnya, kitab itu tidak pernah dicetak lagi dan sekarang menghilang. Saya meng-copy-nya dari perpustakaan para guru. Karena begitulah, tulisan apapun yang dilakukan al-Azhar dalam bentuk membahas dan meneliti secara terperinci tentang masalah pemikiran, tulisan itu dicetak sekali dan menghilang begitu saja.
Perbandingan Umur yang Dibutuhkan Hasan al-Banna untuk Melahirkan Pemikiran IM dan Umur yang Dihabiskan Syekh Sya’rawi sebelum Muncul ke Permukaan Dunia Islam.
Syekh Sya’rawi mulai muncul ke masyarakat pada umur 64 tahun. Beliau dilahirkan pada tahun 1912 dan baru muncul pada tahun 1976. Kenapa begitu lama? Karena beliau memberikan ilmu sesuai haknya. Oleh sebab itu, apa yang beliau sampaikan terasa oleh kita sekarang dan akan terus hingga hari kiamat.
Sementara itu, Hasan al-Banna muncul ke masyarakat dengan pemikirannya pada umur 22 tahun. Ia lahir tahu 1906 dan mengumumkan lahirnya kelompok Ikhwanul Muslimin pada tahu 1928.
Dari sini boleh kita lihat bahwa permasalahan yang kita saksikan sekarang sebenarnya telah dimulai dari kesalahan pada sejarah masa lalu. Di masa ini, kita memerlukan peneliti Azhari sejati dan para analis ilmiah yang benar-benar berniat untuk membahas dan mencari jalan keluar dari krisis ini.
Pengakuan Hasan Al-Banna terhadap Cacatnya Pondasi Pemikiran Ikhwanul Muslimin
Di akhir hayatnya, Hasan al-Banna sering berkata, “Kalaulah saya boleh menghadap hal-hal yang telah saya rosakakkan sebelumnya, maka pasti akan saya kembalikan IM pada manhaj dakwah dan kemurnian.”
Inilah pengakuan atau pemberitahuan pertama yang mengatakan bahwa ada kerosakkan pemikiran di tubuh IM sendiri. Pengakuan ini dikatakan langsung oleh pendiri IM sendiri Hasan al-Banna.
Pemikiran Al-Maududi Mulai Mengalir di Tubuh Anggota Ikwanul Muslimin.
Pemikiran al-Maududi melalui kitabnya alMustalahah al-Arba’ah mulai dipegang oleh IM. Pemikiran yang membawa kepada takfir ini membuat satu kejutan kepada Mursyid Am II Ikhwanul Muslimin Hasan al-Hudhaibi.
Apa isi kitab al-Mushthalahah al-Arba’ah itu?
Dalam kitab tersebut, al-Maududi menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata ilah, rabb, din dan ibadah.
Ibadah yang kita fahami adalah pemahaman yang luas yang mencakupi tentang dinamika kehidupan jika disertakan dengan niat semata-mata kerana Allah, begitu juga dengan ibadah yang dijelaskan Alquran seperti Solat, zakat, puasa, haji dan yang lainnya.
Sementara, menurut al-Maududi tidak. Menurutnya jika hukum-hukum yang diterapkan oleh manusia bukan merupakan syariat Islam, maka hukumnya kufur. Jadi, taat kepada pemerintah yang tidak menerapkan hukum-hukum dan tidak berhubungan dengan Islam maka termasuk dalam ibadah.
Jadi kata ‘ibadah menjadi sebuah kata yang sangat berisiko sementara kita harus berfikir dengan jelas, begitu juga dengan 3 point yang lain. Al-Maududi mengutarakan pemikirannya melalui penjelasannya tersebut.
Untuk memurnikan ajaran IM, al-Hudhaibi membuat sebuah kitab berjudul Du’ah La Qudhah. Dia mengatakan dalam kitab tersebut, “Kepentingan kita adalah berdakwah. Tugas kita adalah menjelaskan agama kepada masyarakat. Jangan mempengaruhi masyarakat dengan pemikiran takfir.”
Semuanya sudah saya himbau, mari kita bandingkan apa yang terjadi hari ini dan apa yang telah disampaikan oleh al-Hudhaibi.
Pemikiran yang dihadang oleh al-Hudhaibi ini tidak hilang begitu saja. Pemikiran ini sempat menyelam sementara ke bawah tanah dan mulai tumbuh kembali dengan penjelasan yang diwarnai dengan ilmu Sastera Arab dan penafsiran yang luas tentang Alquran, yang ditulis oleh Syekh Sayyid Qutb dalam kitab tafsir Fi Zhilal al-Quran.
Peranan Syeikh Sayyid Qutb dalam Mengukuhkan Asas Pemikiran Ikhwanul Muslimin.
Setelah al-Hudhaibi wafat, pemikiran al-Maududi dimunculkan dan dijelaskan kembali oleh Syekh Sayyid Qutb dalam kitab al-Ma’alim fi at-Thariq dan tafsir Fi Zhilal al-Quran.
Meskipun ramai yang menganggap bahawa Syeikh Sayyid Qutb tidak membahas secara terperinci pemikiran takfir ini, tapi saya minta Anda untuk merujuk kembali apa yang disampaikannya dalam tafsiran Alquran surat al-Maidah ayat 44.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: Siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Bandingkanlah apa yang disampaikan oleh Syekh Sayyid Qutb dengan apa yang disampaikan oleh Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya.
Imam ath-Thabari, seorang ahli Usul Fikih, ahli Fikih, ahli bahasa dan sastera menyebutkan beberapa perkataan para ulama sebelumnya tentang maksud dari ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun dalam konteks umat terdahulu.
Ada juga yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kufur nikmat bukan kufur agama. Lalu ada yang mengatakan bahwa label kafir dipakaikan kepada orang yang tidak mahu dan menolak diterapkannya hukum Allah.
Selanjutnya, ada perkataan yang bathil yang mengatakan bahwa orang yang menghukum selain menggunakan hukum Allah adalah kafir secara mutlak. Padahal yang memakai ini hanyalah kelompok Khawarij saja dan inilah pendapat yang dipakai oleh Syekh Sayyid Qutb. Sementara itu Syekh Sayyid Qutb tidak mencantumkan pendapat dari Ibnu Abbas ataupun para ulama yang lainnya.
Pada peringkat ini, Syukri Mustafa belajar kepada Syekh Sayyid yang juga merupakan temannya, ketua dari Jemaah Takfir wa al-Hijrah. Pada tingkatan ini Mustafa Masyhur, Muhammad Mahdi ‘Akif, dan Muhammad Badi’ juga belajar kepada Syekh Sayyid. Mereka inilah yang menjadi Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin.
Artinya, mereka yang kita lihat sekarang bukanlah orang-orang yang tumbuh dari pemikiran asli IM kerana pemikiran asli ini tenggelam saat wafatnya Umar al-Tilmisani Mursyid Ketiga IM.
Setelah Umar al-Tilmisani tiada, tidak ada lagi ada orang-orang yang melawan pemikiran takfir ini. Dan mulai saat itu, mulailah terbentuk kelompok al-Qutbiyyah sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Apakah Hukum Positif yang Dijalankan oleh Mesir Tidak Bernafaskan Syariat Islam?
Apakah hukum yang dijalankan oleh Mesir sekarang merupakan hukum yang bebas dari hukum Islam? Para ulama al-Azhar telah membahas masalah ini. Kita memiliki segudang karya ulama yang telah membahas masalah kaitan hukum-hukum positif dan hukum Islam. Tapi tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Saya pernah berjumpa dengan seorang penganalisis yang meneliti tentang sejarah hukum Mesir. Meskipun seorang doktor, dia tidak mengetahui kalau ulama al-Azhar telah menjelaskan hal ini panjang lebar. Saya lah yang memberi tahunya dan menunjukkan kepada dia tentang hal ini.
Syekh Makhluf al-Minyawi tatkala menerjemahkan hukum yang dipakai Nepoleon, beliau menemukan bahwa hukum tersebut sesuai dengan Mazhab Maliki sebanyak 75 %. Dan dalam hal ini beliau menulis kitab al-Muqaranat at-Tasyri’iyyah yang dicetak sebanyak 4 jilid. Sayangnya, kesungguhan ulama Azhar ini tidak didengar oleh orang banyak.
Syekh Hasanain al-Makhluf, mantan mufti Mesir pernah membuat kata pengantar untuk sebuah kitab yang membahas tentang kaitan antara hukum positif dan hukum Islam yang ditulis oleh Abdurrahman al-Qasim. Beliau mengatakan, “Analisa tentang kaitan antara hukum Islam dan hukum positif harus kita ketahui dan ketahuilah bahwa ulama tidak pernah meninggalkan sejengkalpun dari periode zaman untuk tidak menunaikan kewajibannya.” Tapi kesungguhan yang beliau lakukan ini disia-siakan dan tidak dipelajari.
Kenapa Pemikiran yang Tidak Matang Ini Cepat Berkembang dan Diterima oleh Orang Ramai?
Kelihatannya ini memang aneh kenapa pemikiran yang tidak matang ini cepat diterima oleh orang ramai. Namun pada hakikatnya, sebuah pemikiran yang sempurna itu sangat berat sehingga tidak ramai orang yang memahaminya.
Sementara itu di saat yang sama ada pemikiran yang ringan dan mudah penggunaannya. Tentu ramai orang yang memilih pemikiran yang ringan ini.
Contoh Analisa Ringan dan Analisa Berat dari Penggunaan Kata كلّ (setiap)
Nabi Bersabda, “Setiap bid’ah adalah sesat.” Setiap (كلّ) dalam hadis ini berarti mutlak. Maka hal pertama yang langsung masuk ke dalam pikiran manusia adalah bahawa semua hal yang tidak ada contohnya yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ adalah bid’ah.
Perhatikanlah! Pemikiran ini sangat ringan, mudah, memuaskan dan mudah diterima oleh kebanyakan orang.
Lalu, ketika ada orang yang berilmu dia akan mengatakan, “Tunggu! Pemahaman Anda tidak benar.” Lalu seorang berilmu menjelaskan bahwa dalam ilmu Usul Fiqh ada namanya shighat umum dan shigat khusus.
Pembahasan mengenai shigah ‘am ini sangat banyak dan luas sehingga Imam al-Qarafi membuat sebuah kitab yang berjudul Aqdul Manzum fil Khusus wal Umum.
Untuk membahas ini ada namanya ‘Am Yadkhuluhu at-Takhshish Li Adna al-Qarinah.
Dan Imam as-Subki menjelaskan kata kullu ini dalam sebuah buku yang sempurna bernama Kullu wa Ma ‘Alaihi Tadullu. Begitulah beratnya pemikiran yang benar. Hanya untuk membahas lafaz umum saja para ulama boleh menghasilkan sebuah kitab.
Selain itu, Allah juga berfirman dalam surah al-Ahqaf ayat 25 tentang angin yang memusnahkan kaum ‘Ad,
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ
Artinya: Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa angin itu menghancurkan SETIAP perkara dengan penggunaan kata "kullu". Tapi, seterusnya Allah mengatakan bahwa tidak ada yang terlihat KECUALI tempat tinggal mereka.
Jadi pembahasan mengenai kata kullu yang datang setelahnya kata yang mengkhususkan adalah pembahasan ilmiah yang sangat dalam dan tidak mudah untuk ambil begitu saja.
Begitulah beratnya pemikiran yang matang. Untuk memahaminya Diperlukan pikiran yang kosong dan kemampuan untuk medengarkannya. Tidak boleh dengan tergesa-gesa.
Keadaan Tanah Air dari Semua perkara Ini
Saat ketika ini.
Pemikiran tentang Tanah Air telah dicemari oleh pemikiran-pemikiran agama yang tidak diletakkan pada analisa yang tajam.
Sementara itu, usaha besar al-Azhar dalam menganalisa semua pemikiran ini dibuang, tidak disebarkan oleh siapapun dan tidak dibicarakan oleh siapapun.
Dalam kondisi ini, pemikiran tentang Bangsa dan Tanah Air merupakan sebuah penyimpangan yang dibingkai ajaran agama pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Jika kamu ingin mengatakan pada saya bahwa syariat Islam menyuruh kita untuk cinta dan bergabung dengan tanah air, itu benar. Jika kamu mengatakan bahawa syariat tidak berbicara tentang masalah umat, kamu salah. Syariat datang untuk memberi jalan kepada umat ini.
Semua Gabungan pecahan seperti kepada negara atau daerah, semuanya harus dijalankan dalam memberikan maslahat kepada pemikiran tentang umat Islam.
Namun keseimbangan gabungan kepada tanah air, kepada rakyat dan kepada daerah telah rosak, padahal ulama al-Azhar telah membahasnya secara panjang lebar tentang masalah ini.
Inti dari yang ingin kita katakan adalah bahwa gabungan kepada tanah air dan gabungan kepada umat harus seimbang.
Keseimbangan gabungan kepada Tanah Air dan Umat Untuk memahami hal ini, ada namanya Lingkaran Afiliasi. Perlu diketahui bahwa manusia berafiliasi kepada semuanya dalam ukuran yang sama.
Misalkan jika ada orang Eropa mengatakan bahwa benua Afrika adalah benua yang kering dan semua orangnya terbelakang, maka kita (semua negara yang ada di benua Afrika) pasti akan marah.
Tatkala terjadi pertikaian antara sesama negara di benua Afrika, meski sebelumnya kita bersatu mempertahakan Afrika dalam afiliasi yang lebih luas, maka dalam hal ini kita (orang Mesir) pasti akan marah jika negara kita dihina oleh negara Afrika lainnya.
Lanjut ke lingkaran yang lebih kecil.
Jika ada salah satu orang Mesir mengatakan bahwa orang Sha’idi (sebutan untuk wilayah-wilayah selatan Kairo hingga perbatasan Mesir dengan Sudan) terbelakang, pasti semua orang Sha’idi akan marah.
Jika antara orang Sha’idi saling menghina; orang Qina mencaci orang Suhaj, pasti orang Suhaj akan marah.
Jadi kesimpulannya, saya berafiliasi dengan keluarga, desa, provinsi, negara, mesir dan kepada umat. Lalu kapan mulai terjadi penyimpangan? Jika afiliasi saya kepada Mesir membuat saya menghina negara lain seperti Libia maka ini berubah dari afiliasi kepada fanatisme. Ini adalah afiliasi yang berlebihan di mana saya akan menganggap kurang semua orang yang bukan Mesir.
Perlu diketahui, fanatisme adalah sebuah penyakit yang ada dalam diri manusia.
Jadi, jika gabungan saya kepada tanah air membuat saya menjadi fanatik dan merosak segala hal yang berada di antara saya dan umat, maka kesalahannya bukan berada pada gabungan saya kepada tanah air tapi kesalahan berada pada sikap saya yang fanatik terhadap tanah air.
Ulama mengatakan, “Tidak sah afiliasi seseorang terhadap suatu cabang jika membatalkan asal dari afiliasi tersebut.” Untuk itu, hal ini merupakan rumus utama yang diterapkan di setiap lingkaran afiliasi. Sebab setiap lingkaran afiliasi dibangun atas lingkaran afiliasi asalnya.
Saya Merasa Tanah Air Menzalimi Saya. Apa Solusinya?
Misalkan negaramu menzalimimu juga dengan seluruh penduduk Tanah Air mu. Kamu merasa bahwa hak kamu telah dirampas dan kamu dihina. Lalu bagaimana solusinya?
Pakailah metode yang diajarkan Alquran ketika berinteraksi dengan orang tua yang tidak Islam.
Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 15, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
Apa metode yang diajarkan Alquran ketika ada orang tua yang memaksa anaknya untuk menyekutukan Allah?
Pertama, Jangan ikuti mereka.
Kedua, Pergaulilah keduanya di dunia dgn baik.
Meskipun orang tua tersebut memaksamu untuk kembali kepada kekafiran, maka kamu tidak boleh membunuhnya ataupun mengebomnya.
Begitu juga dengan tanah air. Jika kamu merasa dizalimi oleh tanah airmu, maka kamu tidak boleh menghancurkannya meskipun kamu berbeza pendapat dengan Negaramu.
Jadi inilah inti yang kita sampaikan.
Siapapun yang berbeza dengan negaranya dalam masalah apapun, maka bermuamalahlah dengan tanah air dan negaranya dengan baik sebagaimana wajib berbuat baik kepada orang tua yang memaksanya untuk keluar dari Islam.
Tidak boleh merosakkan tanah air, menghancurkannya ataupun mengebomnya sebagimana tidak boleh berbuat kasar kepada orang tua yang musyrik.
Dasar Pemikiran IM Mirip dengan Roti yang Tidak Matang.
Boleh kita lihat bagaimana pemikiran yang disampaikan oleh IM ini merosak pemikiran agama kerana pada awalnya memang tidak diletakkan di atas meja analisis yang kuat.
Sama halnya kalau saya membuat roti. Jika roti yang saya buat tidak matang lalu saya berikan kepada orang, maka rasanya pasti tidak enak. Tapi sebaliknya, jika telah matang pasti rotinya boleh dinikmati.
Begitu pula dengan sebuah pemikiran yang berkaitan dengan agama. Jika diteliti atau dianalisis terlebih dahulu pasti akan sangat bermanfaat. Namun, jika tergesa-gesa mengeluarkannya maka hasilnya tidak akan bagus.
Peranan Teknologi dalam Krisis Mesir
Dahulu.
jika seseorang ingin memperbanyak bukunya dia harus mengumpulkan banyak tukang tulis. Dia tidak boleh secara langsung membawa tulisannya ke percetakan kerana masa itu belum ada mesin cetak. Akibatnya, hal yang ditulis pada masa itu adalah sesuatu yang sangat penting saja.
Sementara yang kurang penting disampaikan dari mulut ke mulut.
Namun sekarang, kita memiliki mesin percetakan. Tidak ragu lagi bahwa mesin cetak adalah anugerah Allah kepada umat manusia namun kita tidak boleh menutup mata bahwa mesin cetak juga memiliki kesan sampingan.
Dengan adanya mesin cetak, membukukan tulisan saat ini sangat mudah. Segala sesuatu ditulis dan dicetak terlepas apakah yang ditulis itu dipelajari atau tidak, benar atau salah, segalanya ditulis. Maka mulailah ledakan informasi di tengah umat manusia.
Saat ini kita memiliki banyak siaran TV. Jadinya semua orang berbicara dan memiliki Pandangan tersendiri.
Tatkala seseorang menyaksikan sebuah informasi di TV, dia dengan mudahnya mengambil kesimpulan dari apa yang dia saksikan. Lalu setelah berjalannya waktu, saat menyaksikan Tv lagi, dia akan mudah berubah Pemikiran dan men-cop informasi sebelumnya salah tanpa melakukan pengamatan terlebih dahulu.
Setelah mendengar banyak pendapat, orang-orang akan merasakan sesuatu yang nihil dan kekosongan. “Ada apa semua ini?! Saya tidak tahu apapun. Saya mahu tidur. Semoga Allah memberikan solusi esok pagi.”
Kemudian, saat ini muncul Facebook dan Twitter. Ini adalah loncatan peradaban yang memberikan banyak manfaat bagi manusia. Namun, hal ini juga memiliki kesan sampingan. Dengan adanya media sosial ini membuat orang-orang tergesa-gesa untuk menyimpulkan suatu masalah dan tidak sabar untuk merujuk kembali kepada sumber utama sebuah masalah.
Dengan mudah orang bisa membaca sebuah berita. Dia bisa membangun hukum yang dia ambil berdasarkan kepada berita tersebut tanpa harus membebani diri untuk memeriksa kebenarannya, mencari sumbernya, dan apakah beritanya dipercaya ataupun tidak. Pada tahap selanjutnya, ia dengan gampang bisa melakukan tindakan yang dia inginkan hanya didasarkan kepada berita di media sosial tersebut.
Hasilnya apa? Banyak orang kehilangan kesabaran untuk membaca, kesabaran untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, kehilangan kesabaran untuk menghasilkan ilmu dengan cara yang benar, serta tidak memberikan tempat yang luang kepada para cendikia melakukan haknya.
Sekarang, kita lihat semua permasalahan ini berada dalam ruang lingkup agama. Akibatnya, terjadi penyelewengan terhadap pemahaman agama yang membawa kepada penghancuran negara, pemabakaran tanah air, menghilangkan nyawa dan pertumpahan darah. Penyebabnya karena setiap orang memiliki sebuah alat yang ringan atau seukuran buku kecil untuk mendapatkan informasi dari media sosial.
Dengan kemudahan mendapatkan akses berita seperti ini, ada orang yang mengatakan, “Kamu boleh mengikuti daurah selama tiga hari dan mendapatkan ijazah dalam bidang Fikih.”
Apakah hal ini sah? Tidak sama sekali. Ini adalah suatu perbuatan kejahatan. Demi Allah, saya menangis kerana merasa pedih ketika melihat kesungguhan para ulama seperti Syeikh Kamal bin Humam, Syekh Zakariya al-Anshari dan Imam Nawawi.
Mereka menghabiskan seluruh umur mereka untuk melayani ilmu. Lalu ada orang yang mengatakan, “Kamu boleh mengambil daurah selama tiga hari dan mendapatkan ijazah.” Lalu dia memberikan dirinya hak untuk mengatakan bahwa al-Azhar itu benar atau salah.
Oleh sebab itu, kita harus memperhatikan bagaimana cara kita mendapat pengetahuan. Kita tidak boleh tergesa-gesa untuk mendapatkannya. Kita harus membezakan mana orang yang mengatakan perkataan yang benar dan tidak. Saya sampaikan, saya adalah orang pertama yang mengatakan, “Jangan terus Anda terima perkataan saya!”
Rujuklah kembali apa yang saya sampaikan. Saya hanya memberi Anda kunci dan silakan Anda baca semua permasalahan ini kembali dengan merujuk kepada buku-bukunya.
Kita harus membiarkan bangsa ini untuk membaca agar kita boleh memahami apa yang terjadi sebenarnya.
Kenapa Mesir Wajib untuk Dijaga Lebih dari Negara Lainnya?
Tanah air bukanlah hanya longgokkan tanah semata. Tanah air itu adalah sebuah sejarah, peradaban dan bangsa. Mencintai tanah air bukanlah hanya berkaitan dengan bagaimana kita memperlakukannya, tapi lebih dari itu, cinta tanah air adalah sebuah perasaan mulia manusia yang disucikan dan diberi cahaya oleh syariat.
Jikalau perkataan ini berada dalam konteks negara secara umum, maka untuk Mesir lebih khusus lagi kerana Mesir memiliki keistimewaan.
Hal ini boleh kita ibaratkan terhadap seseorang yang dilarang mencaci sesama manusia, hanya kerana dia manusia biasa.
Cacian ini lebih dilarang lagi jika dialamatkan kepada ulama seperti Syekh Sya’rawi.
Kenapa? Kerana kita tidak boleh mencaci beliau kerana beliau adalah manusia, itu pertama dan yang kedua adalah kerana ketinggian ilmu beliau. Begitu juga Mesir.
Mesir harus dihormati kerana semua tanah air harus dihormati secara umum, pertama. Yang kedua Mesir harus dihormati secara khusus kerana beberapa faktor di antaranya adalah kerana Allah menyifati Mesir dalam Alquran sebagai negara yang aman.
Allah menyebutkan hanya ada tiga tempat yang aman. Pertama adalah surga, kedua Mekah dan yang ketiga adalah Mesir. Allah berfirman dalam surat Yusuf ayat 99,
فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى يُوسُفَ آوَى إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِين.
Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan dia berkata, " Masuklah kamu ke negeri Mesir, insyaAllah dalam keadaan aman.”
Apakah ini hanya dikhususkan untuk masa Nabi Yusuf saja? Tidak. Kerana Nabi Yusuf pernah mengatakan sebagaimana yang diabadikan Alquran surat Yusuf ayat 55:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Nabi Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
Jadi, sifat aman yang dilabelkan kepada Mesir bukanlah bersifat sementara kerana ini adalah Qimah Nubuwwah (nilai kenabian).
Dalam ayat ini juga tidak disebutkan أدخلوا أنتم atau أدخلوا مصر إن شاء الله آمنين الآن. Tapi yang dikatakan adalah ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِين maka berubah menjadi syiar.
Bayangkan, berapa lama Nabi Yusuf jauh dari orang tuanya. Tatkala mereka berjumpa, yang diabadikan Allah hanyalah ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِين padahal pasti banyak percakapan yang mereka lakukan saat itu seperti ungkapan selamat datang, khabar, ataupun yang lainnya.
Sementara yang diabadikan Alquran hanyalah sifat aman bagi Mesir. Jadi, kata aman ini berubah dari perkataan yang bersifat sementara menjadi pokok dari Alquran yang kekal hingga hari kiamat tanpa ada terkecuali.
Intinya, yang ingin kita sampaikan adalah bahwa mencintai tanah air adalah perintah agama Islam sebagaimana wajibnya seorang anak menghormati orang tuanya kerana berhubung kepadanya, apalagi mencintai Mesir yang secara khusus Allah jadikan satu dari tiga tempat yang aman di dalam Alquran bersama syurga dan Mekah