DUNIANYA SAMA, AKHIRAT BERBEDA TEMPAT
Dua jenis manusia itu sama sama berusaha mengais rezeki masing masing berupaya, awalnya mencukupi kebutuhan dasar yang paling pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Dan, jika kebutuhan pokok itu sudah terpenuhi, mereka mulai mencari kemewahan kemewahan, agar seumur hidupnya dapat dijalani dengan kelimpahan, kemudahan, aman, tenteram, damai dan seterusnya.
Semua umat manusia, yang mukmin maupun yang kafir, agaknya nyaris sepakat dengan pola hidup seperti ini. Hanya, ada perbedaan mendasar dalam kesadaran dan cara berfikir diantara keduanya.
Orang kafir mengabdi pada kehidupan dunia an sich [1]. Baginya, kebahagiaan dunia adalah tujuan puncak; dunia adalah kesempatan yang apabila terlewatkan, hilanglah segalanya.
Baginya, kehidupan hanyalah rentang waktu yang berlangsung di atas bumi ini saja. Ia tidak percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kehidupan ini. Ia juga tidak yakin bahwa ada rumah tinggal lain setelah rumah tinggal (bumi) ini hancur.
Sedangkan orang mukmin, mereka memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan pemahaman orang orang kafir. Orang mukmin percaya bahwa terdapat kehidupan lain yang lebih nyata, lebih agung, di mana manusia akan tinggal kekal di dalamnya.
Bagi orang mukmin, kehidupan dunia adalah perjalanan menuju kehidupan berikutnya. Jadi di sini saatnya menanam, di sana kita akan menuai, di sini kita berlomba, di sana kita akan mendapatkan nilai.
Dunia, jika tidak dijadikan kendaraan menuju akhirat, akan menjelma menjadi fatamorgana yang penuh tipu daya dan kepalsuan.
Perbedaan kedua kelompok di atas sangat mendasar dan jelas, meskipun keduanya berjalan beriringan, sama sama bekerja keras mencari makan. Mereka berbeda pada motif, yang satu makan untuk hidup, yang lain hidup untuk makan.
Diakui memang, daya pikat dunia sangat luar biasa. Dan, persaingan keras kehidupan pun sangat menguras tenaga, menyita kesadaran dan fikiran yang tidak ringan. Sehingga banyak yang tertipu oleh capaian capaian dunia yang sifatnya sementara, lebih memilih yang fana ketimbang yang abadi. Disinilah agama menciptakan ajaran ajarannya untuk menangani sekaligus dua wilayah yang sama sama penting.
-Muhammad Al Ghazali -
______
[1] An Sich adalah sebuah istilah dari bahasa Jerman yang secara harfiah berarti: "pada dirinya sendiri", "pada hakekatnya" atau "harafiah".
blog saya satu lagi boleh dilawati : http://sharmine205omarshahab.blogspot.com/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan