MEMBANGUN JIWA CINTA AKHIRAT
“Barang siapa yang akhirat menjadi harapannya, Allah akan menjadikan rasa cukup di dalam hatinya serta mempersatukannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan patuh dan hina. Tetapi siapa yang dunia menjadi harapannya. Allah akan menjadikan kefakiran berada dii depan matanya serta mencerai-beraikannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekedar apa yang telah ditetapkan baginya.” (Hadits Riwayat Tirmidzi)
Allah subhanahu wa ta’ala befirman:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Asy-Syura (42): 20)
Allah telah menciptakan dunia serta menyimpan bermacam kekayaan, kebaikan dan keindahan di dalamnya; menjadikan kita menyukai sebagian kenikmatannya; sekaligus menghalalkan dan tidak mengharamkannya bagi kita; sebagai wujud kemurahan dan karunia-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan- Nya untuk hamba-hamba- Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik? ” (Al-Araf (7): 32)
Kemudian Allah menjelaskan bahwa di akhirat ada yang lebih baik dari pada dunia beserta kelezatannya tadi:
”Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-’Ala (87): 17)
Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabatnya makna sebuah keuntungan dengan kaca mata akhirat. Inilah seorang sahabat mulia bernama Shuhaib Ar-Rumi. Ketika itu ia merelakan semua hartanya dirampas oleh orang – orang kafir agar ia bisa leluasa berhijrah. Meskipun begitu, akhirnya Nabi sendiri yang menyambut kedatangannya seraya bersabda:
“…..perdagangan yang menguntungkan wahai Abu Yahya … perdagangan yang menguntungkan wahai Abu Yahya!” (Hadist Riwayat Muslim)
Jadi, Shuhaib termasuk orang yang beruntung menurut tolak ukur akhirat, sebab ia rela menjual dunia yang sementara, ditukar dengan akhirat yang abadi.
Satu lagi, Nabi mengajarkan kepada kita agar memakai tolak ukur akhirat dengan sabdanya:
"Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan sejati ialah kekayaan jiwa.” (Hadits Riwayat Muslim)
Menerangkan hadist ini, Ibnu Bathal berkata,
“Makna hadits ini ialah: hakekat kekayaan bukanlah banyaknya harta, sebab majoritas orang yang di lapangkan hartanya oleh Allah, tidak pernah merasa puas dengan pemberian tersebut. Ia berusaha mencari tambahan tanpa perduli dari mana asalnya. Nah, seolah-olah ia justru menjadi fakir disebabkan ambisinya tersebut. Jadi, kekayaan hakiki adalah kekayaan jiwa; yaitu siapa yang merasa cukup dengan apa yang di anugerahkan kepadanya, Qana’ah (puas) dan ridha dengannya. Ia juga tidak berambisi untuk mencari tambahan terus-menerus, sehingga dia seperti orang kaya.”
Karena itulah, seorang mukmin yang yakin serta berjalan di atas manhaj Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, menurut rambu-rambu, kriteria-kriteria dan timbangan-timbangan yang lurus, merupakan orang yang bahagia; tidak hanya di dunia, tetapi juda di akhirat. Ketahuilah, kriteria-kriteria inilah memotivasinya untuk selalu berorientasi kepada akhirat dan senantiasa sibuk hati di dalam memperhatikan akhirat. Kitabullah menjadikannya selalu menghidupkan harapan ini, demikian juga sunnah Nabinya senantiasa menyibukkannya dengan keinginan ini.
NIKMATNYA MENJADI PENDAMBA AKHIRAT
Ringkasnya, siapa yang menjadikan akhirat sebagai harapannya, pasti ingat akan akhirat setiap saat ketika ia sedang bergelut dengan dunia. Anda akan melihat orang seperti ini tidak merasa senang kecuali karena akhirat, tidak merasa sedih kecuali karena akhirat, tidak ridha kecuali akhirat, tidak marah kecuali karena akhirat, dan tidak berusaha kecuali untuk akhirat. Tidak mengherankan kalau ia selalu mengingat-ingat akhirat baik dalam bekerja, berjual beli, memberi dan menolak, serta dalam segala urusan. Barang siapa yang keadaannya seperti ini, Allah akan memberinya tiga kenikmatan dan Nabi memberinya tiga kabar gembira, yaitu:
1. ALLAH AKAN MEMPERSATUKANNYA
Allah akan memberikan ketenangan dan ketentraman kepadanya. Allah juga akan menghimpun fikirannya serta menjadikannya jarang lupa. Demikian juga keluarganya, mereka akan berkumpul bersamanya. Allah akan menambah perasaan kasih sayang antara dirinya dan keluarganya dan menjadikan mereka begitu menurut kepadanya. Allah juga mempesatukan kerabatnya bersamanya serta menghindarkannya dari perpecahan dan terputusnya hubungan. Ringkasnya, dunia akan disatukan untuk dirinya. Semua itu dan semua yang diinginkannya dalam rangka ketaatan kepada Allah, disatukan padanya, untuknya, dan sekelilingnya. Hati manusia akan berkumpul kepadanya setelah Allah tetapkan ia mendapat kepercayaan dari kalangan penduduk bumi.
2. ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEKAYAAN HATI
Sesungguhnya nikmat kekayaan hati merupakan sebuah nikmat agung. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dia kehendaki dari hamba-hamba- Nya. Mengenai firman Allah:
“ ... Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik …” (An-Nahl (16): 97)
Ibnu Katsir menafsirkan “Kehidupan yang baik” di ayat ini dengan sikap ridha dan qona’ah (menerima) yang itu merupakan kekayaan mental dan sikap menerima terhadap rezeki yang diberikan, sehingga ia tidak ngotot (tekun paksa) dalam memburunya.
Sesungguhnya kekayaan bukanlah cincin-cincin emas pada jari tangan, bukan kendaraan, rumah, pakaian, dan perhiasan. Betapa banyak orang yang memiliki semua itu, namun kita saksikan bagaimana harta itu justru menjadikannya tak bisa tidur. Gara-gara pakaian, nikmat tidurnya terampas dari kedua matanya; gara-gara makanan dia harus kehilangan kesempatan-kesempatan berharganya, bahkan mungkin ia disodori berbagai menu makanan, namun tak bisa menikmatinya.
Berbeda dengan orang yang berorientasikan akhirat. Kita saksikan ia merasa rela, menerima, bahagia, tersenyum, senang hati, pandangannya teduh, merasa ridha sekaligus diridhai, tidak ngotot (tekun paksa), dan tidak rakus terhadap dunia. Ia mengamalkan sabda Nabinya:
“Bertakwalah kalian pada Allah, carilah rezeki dengan cara yang baik.” (Hadits riwayat Ibnu Majah)
Artinya, berusahalah dengan usaha yang sah sesuai aturan yang dibolehkan dalam mencari rezeki duniawi. Hendaknya manusia tidak menjadikan dunia sebagai obsesinya, sehingga menyibukkan dirinya, tidur dan bangunnya hanya untuk dunia, berfikir dan merencanakan dunia dalam sebagian besar waktu.
Kita juga akan saksikan seorang hamba yang kaya hatinya tidak segan-segan untuk memberikan harta dunianya, tidak merasa sedih kalau ia hilang, sebagaimana tidak merasa sukaria tatkala ia datang:
”(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu …. “ (Al-Hadid (57): 23)
Anda akan melihat orang ini tidak mengharamkan kesenangan bagi dirinya, tetapai jika kesenangan itu datang, maka kedatangannya semata karena hak Allah, sebaliknya bila kesenangan itu pergi, maka kepergiannya tak lain karena ketentuan Allah.
Saya memohon kepad Allah subhanahu wa ta’ala agar menjadikan kesenangan duniawi yang datang kepada kita itu sebagai sarana yang membantu kita dalam mentaati-Nya dan menjadikan kesenangan duniawi yang hilang dari kita adalah keburukan yang ingin Allah jauhkan dari kita.
3. DUNIA AKAN DATANG DALAM KEADAAN TUNDUK
Ini merupakan nikmat ketiga yang Allah berikan kepada hamba tadi. Dunia ini memang mengherankan; semakin anda kejar, semakin ia lari menjauh dari anda, tetapi kalau anda berpaling darinya, ia justru mengejar anda. Ini bukan sekedar teori. Banyak orang shalih ketika menceritakan keadaan kehidupan duniawinya, mengatakan, “Kami sibuk dengan agama kami dan dunia dengan sendirinya datang kepada kami.” Persis sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Jauzi ketika beliau mengatakan,
“Dunia itu ibarat bayangan, jika anda berpaling dari bayangan, ia justru mengamit anda, tetapi jika anda mencari-carinya, ia justru malas mendatangi anda.”
Oleh karena itu, para pendamba akhirat yang hatinya sibuk dengan akhirat akan didatangi oleh dunia atas izin Allah, kemudian dunia akan meliputinya. Maka orang yang berakal akan menghadapkan dirinya kepada akhirat dan dunia pun akan mendatanginya dengan sukarela. Sesungguhnya dunia itu berasal dari Allah, sementara akhirat itu kembali menghadap Allah. Barangsiapa yang mencari akhirat, Allah akan mengutus dan mengirim dunia kepadanya.
Sahabat Usman bin Affan radhiallahu ‘anhu berkata:
“Harapan terhadap dunia adalah kegelapan dalam hati, sedang harapan kepada akhirat adalah cahaya dalam hati.”
(bersambung .. in syaa Allah)
Diringkas dari artikel yang sama dari artikel jilbab.or.id
_____
Shared By Bicara Hidayah
Tiada ulasan:
Catat Ulasan